Bunkasai ga
Owatta Toki
(When The Cultural Festival is Over)
“Mika!”
“Mika!”
“MIKAAAAA!!!”
Aku tersentak dari lamunanku. Aku
mendapati pemilik suara ultrasonik itu sudah berada di depanku. Tangannya
mengulurkan susu vanila padaku. Matanya yang keren itu terlihat sebal padaku.
“Kamu masih belum menyatakan
perasaanmu pada Kenji-senpai?”
tanyanya. Rupanya dia tahu kalau sedari tadi aku memperhatikan seorang kakak
kelas yang pernah kukagumi sedang berjalan di koridor dari jendela sampingku.
“Hei,
Yukihiro! Kamu sendiri belum menampakkan dirimu pada Tachibana-san, bukan? Perhatikan dulu dirimu baru
menasehati orang lain,” jawabku dengan wajah datar.
“Sudah, sudah! Kalian berdua setiap
hari kerjaannya bertengkar terus. Nih,
aku kasih pekerjaan buat kalian berdua!” Keichiro, ketua kelasku meletakkan
empat buah kantong besar yang isinya apalagi kalau bukan sampah.
oOo
“Gara-gara kamu aku harus ikut buang
sampah. Harusnya aku ikut bagian promosi saja agar aku bisa membagikan brosur
pada Tachibana-san,” keluh Yukihiro
selama perjalanan kami ke tempat pembuangan sampah.
Kami segera kembali ke kelas setelah
membuang sampah-sampah tersebut. Saat aku membalikkan tubuhku, aku mendapati
wajah yang pernah kukagumi setahun yang
lalu, Kenji-senpai.
“Oh! Kenji-senpai!” sapa Yukihiro pada Kenji-senpai. Mereka adalah teman satu klub, klub sepak bola.
“Oh! Hai, Yukihiro-kun!” sapa Kenji-senpai yang tak lama menatapku lalu kembali menatap Yukihiro.
“Jangan salah paham dulu, senpai. Dia hanya teman sekelasku,” ucap
Yukihiro.
“Halo senpai, salam kenal. Namaku Furukawa Mika. Aku hanya teman
sekelasnya Yukihiro,” aku dan Kenji-senpai
berjabat tangan tanda perkenalan.
“Halo juga, Furukawa-san. Namaku Tanaka Kenji. Salam kenal
juga,” Kenji-senpai tersenyum padaku.
Senyum yang tidak berarti apa-apa.
“Ya sudah, senpai. Kita mau kembali ke kelas dulu. Sampai bertemu nanti.” Aku
dan Yukihiro segera kembali ke kelas.
oOo
Waktu makan siang telah tiba. Aku
dan dua sahabatku, Mayu dan Cloe, makan bersama di bawah pohon sakura belakang
sekolah. Sayangnya, di musim gugur seperti ini pohon sakura tidak
memperlihatkan keindahannya.
“Eh,
ada yang kenal dengan adik kelas yang namanya Tachibana Sana, tidak?” tanyaku
tiba-tiba sambil melahap sosis dan nasiku.
“Oh, dia?! Aku kenal kok, dia adik
kelasku saat di sekolah menengah,” jawab Cloe.
“Oh ya?! Kamu pendiam seperti ini
ternyata punya banyak informasi, ya” ledekku.
“Haha… iya, dong. Kenapa dengan dia?” tanya Cloe.
“Tidak apa-apa. Hanya saja dia
cantik.” Bibirku memuji adik kelas itu, tapi hatiku berkata yang sebaliknya
karena iri.
“Iya, sih, tapi dia sudah punya pacar,” ucap Mayu sembari meneguk soda
yang baru saja ia beli dari vending
machine.
“Hah?! Dia sudah punya pacar?!
Siapa?” tanyaku yang sangat ingin tahu.
“Kamu kenapa sih, Mika?! Tanya terus
daritadi,” ucap Cloe agak kesal padaku. Tapi beberapa saat ia menjawab
pertanyaanku. “Iya, kamu tahu Kenji-senpai?
Ketua klub sepak bola. Dia pacaran dengan Tachibana-san sudah sekitar tiga bulan yang lalu sampai sekarang,”
Beberapa detik aku terdiam. Aku
membayangkan tentang bagaimana perasaan Yukihiro saat dia mengetahui ini.
Apakah aku harus memberitahunya? Atau aku biarkan dia tahu sendiri? Mana yang
akan memberikan lebih sedikit rasa sakit di hatinya?
oOo
Pukul 06.18 sore.
Beberapa anak sudah berlarian menuju
aula sekolah untuk menikmati pertunjukan berupa band, drama, dance, dan sebagainya, tak terkecuali aku. Namun, aku
pergi sendiri. Yukihiro telah pergi ke aula lebih dulu. Lalu Mayu pergi dengan
Yoga-senpai sedangkan Cloe pergi
dengan pacarnya.
Setelah enam jam berlalu, acara
tersebut usai. Namun, ada bonus acara dari panitia. Lampu di aula dimatikan.
Hanya ada sebuah lampu bundar yang bergerak-gerak beberapa saat lalu berhenti
di sebuah tempat. Lampu tersebut menyoroti sepasang insan yang sedang
bergandengan tangan. Kerumunan orang di aula yang tadinya ramai mendadak sepi.
Mereka semua menoleh ke arah sorotan lampu tersebut.
“Selamat kepada kalian berdua!!!
Mereka adalah The Most Wanted Couple of
The Year!!!” Ucap MC diiringi tepuk tangan dan sorakan yang memenuhi aula.
Kelopak-kelopak bunga mawar dijatuhkan dari atas aula. Kelopak-kelopak tersebut
beterbangan menuju seluruh aula. Memperindah hati yang sedang bahagia. Menjadi
pelipur lara bagi hati yang sedang patah.
“Yukihiro!” Aku menyerukan namanya
sesaat setelah bayangannya tertangkap oleh mataku di pintu keluar. Aku segera
berlari menuju arahnya. Aku terus berlari mengikutinya. Tidak ada perubahan
jarak di antara kita. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang sedikit bergetar.
Apakah dia menangis? Tidak mungkin.
Tak berapa lama, dia berhenti berlari.
Aku mencoba beradaptasi dengan tempat ini. Tidak ada seorangpun di atap sekolah
ini. Beberapa detik kita gunakan hanya untuk diam dan mengembalikan energi yang
kita gunakan untuk berlari.
“Gomenne,
Yukihiro-kun,” hanya kata itu yang
bisa kuucapkan.
“Aku tidak memberitahumu kalau
Kenji-senpai dan Tachibana-san berpacaran,” lanjutku.
Pukul 11.59 malam.
“Aku takut kalau kamu menganggapku
bohong lalu menjauhiku. Aku takut itu membuatmu patah hati. Tapi sekarang aku sadar,
justru saat kamu mengetahui sendiri kamu lebih patah hati. Gomenne, Yukihiro-kun.”
Aku terus menerus menyalahkan diriku sendiri.
Pukul 00.00 malam.
Kembang api meluncur bebas di langit
malam sebagai akhir dari festival budaya tahun ini. Kembang api yang indah itu
tak dapat kuakui keindahannya. Hanya karena hatiku begitu hancur untuk pertama
kalinya melihat Yukihiro menangis. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku sambil
menahan rasa sesak di dadaku.
“Mika!” Suara yang memanggilku itu
terasa bergetar. Aku masih menundukkan kepalaku tak berani menatap mata
sedihnya.
Tiba-tiba tangannya yang besar menyentuh
pipiku. Perlahan-lahan mendongakkan kepalaku hingga aku bisa menatap matanya.
Dia mencoba senyum semampunya. Aku membalas senyum itu meskipun aku tahu bahwa
senyum itu tak setulus biasanya.
“Yukihiro-kun! Watashi wa kimi ga suki
desu!” aku tak tahu apa yang kuucapkan barusan.
“Nani?”
Yukihiro agak terkejut mendengarnya.
“Aku menyukaimu, Yukihiro-kun. Tolong jangan bersedih hanya karena
orang lain. Tolong tersenyumlah seperti biasanya. Tolong tersenyum demi aku.”
Perlahan kupeluk tubuhnya yang dingin akibat angina musim gugur.
“Tolong jaga aku, Mika-chan. Tolong buat hariku lebih berwarna
dari sebelumnya. Yoroshikune, Mika-chan,”
“Hai,
Yukihiro-kun,”